Sabtu, 10 Desember 2011

Ritual Ruwat Sukerto VS Hari Asyura




Oleh : Ferry Djajaprana

Ada persamaan antara bulan Jawa dan bulan Hijriah yaitu keduanya berlandaskan pada peredaran bulan terhadap bumi. Karena persamaan inilah maka keduanya disamakan perhitungannya hanya saja dibedakan pada penamaannya. Kalau kalender  Jawa  menyebut  awal bulan dengan  Sura (baca: Suro) sementara di  Hijriah disebut  Muharam.

Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa.  Di samping itu bagi masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan yang sama.  Alam gaib yang dimaksudkan adalah; jagad makhluk halus, jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman, benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya.  Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia  di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njampangi (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.

Di  suku Jawa bulan Sura identik dengan bebersih diri, bersih fisik maupun rohani, bahkan sampai pembersihan aji-aji, pusaka, ataupun keris tak luput dibersihkan juga. Mereka menyebutnya dengan istilah diruwat.

Menurut R. Eddy Supriyatna, Koordinator Pelaksana Ruwatan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dilaksanakan besok, Sabtu 10 Des. 2011, maksud ritual ruwat sukerto adalah prosesi ritual ruwat sengkala – bersih diri anak manusia yang kotor karena kesalahan dan dosa. Pelaksanaannya di bulan Suro pelaksanaannya dengan uborampe sesaji, gending, mantra, kidung serta samadhi untuk meneb bersama, yang dipandu oleh spiritualis kejawen sejati, yang sejak kecil hidup dalam jiwa pengabdian kepada  Tuhan Yang Maha Esa sehingga sang pemandu memiliki daya luwih, dalam bersama-sama mencari dan memohon untuk mendapatkan energi suci nan agung, guna membersihkan kotoran jiwa dan energi negatif, dosa dan karma buruk yang membelenggu kehidupannya selama ini, sehingga dapat terhindar dari malapetaka dan dapat hidup selamat sejahtera.

Ruwat artinya lepas dari kotoran jiwa, dan karma buruk yang ada dalam diri anak manusia, yang diperoleh dari perbuatan masa lalu, sebelum maupun sesudah lahir di planet Bumi ini sehingga dia disebut manusia sukerto, yaitu manusia yang penuh dengan energi negatif, dan harus dibersihkan. Pembersihannya  energi negatif banyak ragamnya, salah satu di antaranya adalah dengan cara melalui Ritual Ruwat Sengkala secara khusus. Caranya para sukerto melakukan tirakat atau puasa khusus selama tiga hari, sebelum ritual ruwatan berlangsung yang dipandu oleh juru ruwat dalam memohon ampun kepada orang tuanya serta kepada Tuhan Yang Maha Agung atas segala kesalahan dan dosanya, sehingga dirinya dapat bersih dari segala kotoran budi maupun dosa agar kehidupannya memperoleh selamat dan sejahtera.

Dengan mantra dan kidung suci yang dikemas dalam budaya Jawa, sang juru ruwat akan mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, termasuk memberi  bekal serta pemahaman kepada para sukerto tentang hakikat ruwat sukerto, yang selanjutnya memandu meditasi, samadhi dan dua tafaqur bersama bersimpuh  mohon ampun serta mohon bersih segala energi buruk yang ada di dalam diri para sukerto bahkan mungkin para penonton yang hadir saat prosesi ritual ruwat sengkala berlangsung.

-o0o-


Di atas adalah acara ruwatan dalam tradisi kejawen, penulis mencoba menghubungkan beberapa aktifitas Assyura yang biasa dilakukan oleh umat Islam di antaranya adalah :

Dari Abu Musa ra, ketika nabi Saw memasuki kota Madinah, ada orang-orang Yahudi yang sedang  mengagungkan hari Asyura dengan berpuasa di hari itu. Lalu Nabi Saw bersabda, ”Kami lebih  berhak untuk berpuasa di hari itu”, maka beliaupun memerintahkan untuk berpuasa (sunah) di hari itu (Bukhari 63:3942)

Dari Ibn Abbas r.a. ia berkata, ketika nabi saw memasuki kota Madinah terlihat orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa dihari ’asyura, lalu ditanyakan pada mereka, mereka menjawab bahwa hari tersebut  adalah hari di mana Allah memperlihatkan mukjizat Nabi Musa A.S atas Firaun, dan kami berpuasa untuk mengagungkan kejadian itu. Maka nabi saw bersabda, ”Kami lebih pantas memuliakan nabi Musa as daripada kalian.” Kemudian beliaupun memerintahkan puasa (sunah) pada hari tersebut. (Bukhari. 63:3943)

Kesamaan pada  acara ritual tersebut adalah pelaksanaan puasa yang ditujukan kepada Yang Maha Esa yang dimulai sebelum fajar dan diakhiri setelah matahari terbenam. Perbedaannya adalah pada acara ritualnya di mana pada adat Jawa banyak  tambahan diantaranya adalah Bedah Tumpeng dan Sesaji Ruwatan.

Sementara ini dulu yang bisa di share..

Salam,
Ferry Djajaprana

Kamis, 01 Desember 2011

S a k i t

Islamic Chicken Soup For The Soul
Oleh : Ferry Djajaprana


“Dari Abu Hurairah R.a, Nabi Saw bersabda “Apapun yang menimpa seorang Muslim, baik itu penyakit, kecemasan, kesedihan, luka, kesulitan, bahkan sampai duri yang menusuknya, maka setiap hal itu semua akan menjadi penghapus dosa-dosanya”.
(HR. Bukhari, 75:5641)

Sudah  lima  hari  saya  tinggal di salah satu rumah sakit  di Jakarta karena menjaga istri yang sakit typhus.

Orang jatuh sakit biasanya tidak mendadak begitu saja, melainkan karena  sudah terserang jauh-jauh hari sebelumnya. Demikian juga dengan  istri saya, sebelum terserang penyakit tersebut memang sudah terlihat kesibukannya yang amat sangat dimana dua minggu sebelumnya tidak ada waktu istirahat lantaran proyek yang digarapnya menuntut demikian. Bermula  ketika saat dia pulang bertugas dan mengeluh bahwa  sakitnya tak tertahankan lagi baru  kemudian saya mengantarnya  ke rumah sakit terdekat dan dokter Unit Gawat Darurat (UGD) menyarankannya untuk dirawat saja agar pengobatannya terkontrol dengan baik.

Bicara sakit, sakitnya tubuh itu bukan saja lantaran akibat masalah  jasmani  melainkan juga bisa karena  masalah  rohani. Namun demikian biasanya seseorang hanya melihat satu sisi belaka yaitu sisi jasmani.  Kalau menyebut aspek fisik, pada  umumnya kita sudah paham bahwa sakit thypus adalah akibat  kesalahan asupan, terserang bakteri salmonela typhosa, kurang olah raga sampai perlunya tubuh istirahat dari kerutinan. Namun sakit bila dipandang dari sisi  spiritual lain lagi, diantaranya adalah  merupakan ujian dari Sang Pencipta untuk penghapus dosa.

”Dari Abdullah R.a, ia berkata, aku pernah menemui nabi saw ketika beliau sakit parah terkena demam tinggi, aku berkata, ”Engkau sakit  parah, oleh karenanya engkau akan mendapat pahala.” Beliau bersabda, ”Benar, karena tidaklah seorang Muslim terkena suatu penyakit kecuali Allah akan menggugurkan sebagian dosa-dosanya sebagaimana Allah menggugurkan dedaunan dari pohonnya.” (HR. Bukhari 75:5647)

Bagi saya menemani pasien sakit seperti si pesakitan itu sendiri, karena sama-sama ’dipenjarakan’ dalam satu ruangan, bahkan bila pasien tidurnya di atas kasur – sipenunggu malah tidur di atas tikar, sehingga cap tikarnya tampak di pipi bila terbangun. Di saat pasien bangun  dan ingin ke kamar kecil penjaga harus siap menemani ke kamar kecil, dan banyak hal kecil lainnya mulai dari menepuk nyamuk sampai membenarkan posisi bantal. Walau demikian penunggu satu tingkat lebih beruntung bila dibanding pasien,  bila para tamu yang datang membawa oleh-oleh, pasien karena sakitnya cukup makan elektrolit yang disedot tubuh melalui selang infus dan infus, sementara  oleh-oleh tamunya dimakan oleh si penunggu. Cukup adil memang J.

Hari berganti hari, kesembuhan pasienpun mulai nampak hasilnya. Dan,  hari ini tibalah saatnya check out.

Ketika pada antrian pembayaran rawat inap di kasir  jumlah antrian masih  bisa dihitung pakai jari. Pada saat ngantri  di depan saya adalah seorang ibu yang harus membayar biaya rumah sakit saudaranya karena suatu operasi besar, dia harus membayar tagihan sebesar Rp 54 juta, setelah membaca daftar  tagihan dia terkaget-kaget  karena sudah dibayar Rp. 27 juta atau separuhnya. Betapa air mata kegembiraan mengucur dari wajahnya. Petugas Kasir  memberi tahu kalau ada seseorang yang sudah membayarkannya  tapi tak mau disebut namanya. Saya dibelakangnya dengan sabar menunggu giliran membayar, sambil berkata di dalam hati "Inilah janji Allah yang disebut dengan rejeki tak terduga itu dan terkagum-kagum karena  masih ada orang "punya" yang mengikhlaskan rejekinya untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Semoga amal baik yang menyumbang diterima oleh Allah Swt.

Telah semakin jelas buah ketakwaan dari seorang pasien atau ibunya  yang shalihah. Sungguh Allah selalu melimpahkan karunia dan rezeki yg sesuai dengan ketakwaan seseorang.  Demikianlah  pelajaran dari hal yang terkecil di dunia nyata,  walaupun  kita selalu berpikir secara umum tentang kehidupan hedonisme dan individualis ternyata masih ada segelintir individu yang ikhlas membantu..

”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS Yunus :61).

Jarum jam sudah bertumpuk  pada  pukul 12:00 siang, saatnya saya check out dan pamit pulang pada perawat-perawat yang bertugas yang telah begitu baik dan penuh perhatian merawat istriku. Semoga Allah membalas kebaikannya dan juga menyembuhkan sakit istri saya. Amin.

Salam,
Ferry Djajaprana

http://senimistik.blogspot.com
http://ferrydjajaprana.multiply.com

Penulis bisa dihubungi pada alamat email : fdjajaprana@gmail.com