Memang tidak ada terapi khusus yang efektif untuk menyembuhkan anak autis. Tetapi, dengan memahami karakteristik dan menggali potensi yang dimiliki, kesulitan anak autis bisa dikurangi dan potensinya bisa dikembangkan agar mereka dapat hidup lebih mandiri.
Memiliki anak autis tidak selamanya berarti dunia seakan runtuh. Pandangan ini anatara lain karena sebagian besar orangtua dengan anak autis terlalu menfokuskan perhatian mereka pada kelemahan yang dimiliki anak, akibatnya, 6potensi tidak tergali secara maksimal, itu yang diungkapkan oleh DR Dr Dwijo Saputro, SpKJ (K), konsultan terapis anak autis di SmartKid, Klinik Perkembangan Anak dan Kesulitan Belajar di Jakarta Barat.
Sebagian orangtua juga sering terlambat mendeteksi kekurangan anak karena hanya mengandalkan pusat-pusat terapi untuk mengatasi masalah yang dialami, dan kurang menggali alternative pengembangan individual dan pengembangan potensi. Padahal jika deteksi dini dilakukan, stimulasi bisa segera diberikan untuk mengatasi kekurangan sekaligus untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, maka hasilnya akan lain.
Nyatanya, dengan penanganan sedini mungkin, tidak sedikit individu dengan autism berhasil mengatasi masalah dan mengembangkan bakatnya. Ada Temple Grandine (62 tahun) yang menyandang autism asal Boston, Massachusetts, Amerika Serikat yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga berhasil meraih Doktor dalam bidang peternakan.
Ada pula seorang wanita autis bernama Donna William (46 tahun) dari Melbourne, Victoria, Australia, yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga berhasil menjadi seorang penulis dan seniman. Sementara itu, Bradley Olson (22 tahun) asal Minnesota, Ameika Serikat adalah mahasiswa autis yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi pemuda yang aktif dan tangkas.
Pencapaian ini tidak terlepas dari peran berbagai terapi pelengkap untuk mengembangkan potensi yang terpendam di balik perilaku anak autis yang sulit dipahami itu.
ART THERAPY
Salah satu terapi pelengkap untuk mengembangkan potensi pada anak autis yang saat ini mulai popular di Indonesia adalah art therapy (terapi seni), yaitu terapi atau latihan pendisiplinan diri melalui media kesenian, yaitu menggambar, melukis, membuat patung dari tanah liat atau berlatih music. Termasuk alam kategori art therapy adalah melihat dan mempelajari obyek lukisan dan foto (visual tools).
Menurut Donna J. Bett, MA., ATR, seorang terapis masalah anak-anak an remaja penderita autism dan coordinator Art Therapy Service pada National Children’s Center di Washington, D.C., (http://www.autisme-society.
Sebagai contoh, menurut Dwijo, di luar potensi umum yang dimiliki, beberapa anak autis memiliki kecakapan atau kecenderungan khusus pada bidang numerical (angka), lainnya memiliki kecenderungan atau potensi auditif (pendengaran), ada juga yang memiliki potensi di bidang visual (penglihatan) dan taktil (sentuhan).
Dengan memahami karakteristik dan potensi tersebut, seorang terapis terbantu dalam memperbaiki gangguan kesulitan yang dialami dan dapat menggali potensi yang terpendam. Itulah mengapa terapi seni, baik melukis atau latihan vocal, dapat dimasukkan sebagai bagian ari stimulasi untuk melengkapi (adjuvant) terapi lain.
Menurut Donna J. Bett, setidaknya ada tiga manfaat art therapy bagi anak autis, yaitu;
1. Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi
Art Therapy dapat membantu menstimulasi bagian otak yang tidak berkembang dan membantu anak autis dalam mengekspresikan kecakapan non verbal. Saat anak autis sedang melukis atau menggambar misalnya, sesungguhnya dia sedang berkomunikasi dengan menggunakan symbol. Proses ini dapat membantu mengembangkan kecakapan komunikasinya secara langsung, serta membantu dalam mengelola proses berpikir.
Secara bersamaan, sang terapis juga dapat lebih focus dalam mengeksplorasi kecakapan berkomunikasi anak dengan memanfaatkan beberapa teknik tertentu, seperti member tugas menggambar dengan mencontoh atau melukis sesuai arahan terapis. Anak dengan autisme akan merespon tugas yang diberikan terapis lewat perubahan sikap dan karya lukisannya. Metode ini juga dapat melatih anak untuk lebih focus dan dapat terlibat secara langsung dalam proses interaksi dengan orang lain.
Saat terapis membangun hubungan dengan pasien autis itulah pasien mulai mengembangkan kemampuan menyimpan dan menambah pengalaman barunya. Itulah cara kerja dan proses komunikasi dalam terapi seni, yaitu dengan menciptakan suasana positif yang sangat baik dan menyehatkan. Cara ini juga bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan membantu memperbaiki perkembangan emosi anak autis.
Menurut Dwijo, anak autis juga cenderung lebih mudah diarahkan oleh terapis yang bisa menciptakan rasa aman dan nyaman serta bisa menjalin hubungan sesuai karakteristik setiap anak. Jika anak autis dapat merasakan pengalaman yang nyaman selama proses terapi berjalan, maka ia akan mudah diarahkan.
Apa yang dialami Ivan (18 tahun), peserta art therapy pada Smart Training Centre, dapat menjadi petunjuk keberhasilan prinsip ini, mula-mula, Ivan yang saat ini duduk di bangku kelas dua SMA Madania, Parung, Bogor, tidak bisa tahan duduk berlama-lama saat menjalani terapi melukis. Begitu juga saat duduk di depan keyboard untuk latihan bermain piano.
Namun dengan ketekunan dan terapi yang terus menerus dan cukup lama, Ivan kini telah mampu memainkan dan menyanyikan ratusan lebih lagu, lengkap dengan not balok dan syairnya. Sementara lewat pelatihan melukis yang dijalaninya selama satu jam, tiga kali dalam seminggu, Ivan kini juga mulai menunjukkan bakan dan kecakapannya di bidang seni lukis.
Dibanding saat pertama kali menjalani terapi lukis dua tahun lalu, perkembangan Ivan sangat pesat. Keluwesan tangan dan cara menggoreskan alat gambar sudah seperti anak normal. Selain itu ia kini juga sudah bisa lebih focus dan menikmati proses kreatifnya (pengalamanan Arief Wibisono, guru lukis di Smart Training Centre yang selama ini membimbing Ivan).
2. Mengembangkan Perasaan Anak Autis
Art therapy juga bermanfaat untuk membantu mengembangkan perasaan dan emosi anak autis. Karena anak autis tidak memiliki emosi dan perasaan yang stabil, lewat melukis atau menggambar, terapis dapat melatih cara mengekspresikan perasaan lewat kegiatan menggambar atau melukis. Latihan ini juga berguna untuk melatih daya tahan atau keuletan dan kesabaran pasien dalam menyelesaikan suatu tugas seni selain membantu memperbaiki ekspresi dan perasaannya.
Menurut Arief Wibisono, dalam proses latihan ini seperti pada proses terapi yang dilakukan pada Ivan seorang terapis memang dituntut memiliki kesabaran yang ektra, mampu memahami karakter anak dan sebisa mungkin dapat masuk atau menyatu dengan sikap dan karakter pasien agar ia dapat merasa nyaman mengikuti proses terapi. Dengan teknik ini, pasien akan merasa senang, mau mendengar dan mengerti apa yang ingin disampaikan terapis. Saat ini Ivan sudah sekitar 80% mau mendengarkan dan memperhatikan apa yang diajarkan padanya.
3. Melatih Koordinasi Sistem Saraf
Koordinasi system saraf pada anak autis adalah salah satu aspek penting. Penggunaan metode multi sensory dapat membantu mengintergrasikan atau mengkoorinasikan perasaan anak autis, seperti mendengar dan menyentuh. Misalnya, dengan memainkan tangga nadan dengan alat-alat music, atau berlatih menyanyi secara periodic pada sesi terapi yang berbeda.
Meskipun memiliki kesulitan-kesulitan sesuai dengan karakteristik individual anak, anak autis juga dapat mengembangkan keterampilan komunikasi dan kepekaan sensorik mereka selama proses terapi berlangsung.
Sesuai dengan keunikan dan karakteristik masing-masing, anak-anak autis juga dapat melakukan interaksi yang positif dengan terapis selama terapi berlangsung. Lewat mekanisme ini, seiring dengan pertumbuhan pola piker dan sikap emosionalnya, sikap negative anak autis pun akan berkurang.
Informasi Terapi Melukis (Art Therapy):
Verri J. Priyana, S.Kom, MA, C.Ht.
Telp. 021-7423047, 08111494599
Pin : 28303BAC
email : verri_dj@yahoo.com
Clinic: Jl. Kalasan Blok B15/1 - Tangsel.
Foto ilustrasi : Verri Dj