A. Metodologi Tafsir Mimpi Ibnu Sirin
Ibnu Sirin adalah seorang muslim generasi awal sekaligus
perawi
hadits. Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad Ibnu Sirin. Ia
dilahirkan
di kota
Bashrah, Irak pada 33 H. (653 M.) dan wafat pada tahun 110 H. (730
M.) (Purwanto, 2003: 288).
Dimasa hidupnya, Ibnu Sirin adalah seorang penulis
termasyhur dan
ulama terhormat. Ia hidup di abad pertama kekhalifahan Islam
dan belajar
fikih serta hadits dari tangan pengikut pertama shahabat-shahabat
Rasulullah
saw. Di antara tokoh-tokoh yang sezaman dengannya adalah
Imam Anas Ibn
Malik, al-Hasan ibn al-Hasan al-Bashri, Ibnu Awn al-Fudhayl
ibn ‘Lyadh dan
banyak lainnya.
Tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan mimpi
dengan jelas dan benar. Orang yang mimpi melakukan hal itu
ialah orang yang
diberi karunia oleh Allah SWT. sebagai pembawaan sejak
lahir. Pembawaan
sejak lahir merupakan daya melihat dengan mata hati terhadap
aneka perkara
gaib. Pemilik daya ini mampu mengendalikan ruhaniahnya untuk
mena’wilkan mimpi secara tepat dan sesuai dengan kenyataan.
Ia dapat
menampilkan hal-hal gaib. Orang yang tidak memiliki
keistimewaan hanya
dapat memberikan ta’wil yang bohong (Sirin, 2004: xvi).
51
Kemanakah sekarang ini manusia mena’wilkan mimpi? Pertanyaan
ini
mengguncang akal manusia sepanjang masa. Al-Qur’an
mengabadikan
pertanyaan ini sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat
60.
Artinya: “Dan ingatlah ketika kami wahyukan kepadamu:
“sesungguhnya
(ilmu) Tuhanmu meliputi gejala manusia”. Dan kami tidak
menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagian ujian bagi manusia dan (begitu pula)
pohon kayu
yang terkutuk dalam al-Qur’an. Dan kami menakuti mereka,
tetapi
yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan
mereka”
(QS. al-Isra’: 60) (Depag RI, 1985: 433).
Pada kondisi tidur, ruh manusia seolah naik vertikal, tetapi
tidak
dilepaskan dari jasad manusia, kemampuannya berkomunikasi
dengan
makhluk dan alam lain tergantung pada kualitas ruh tersebut.
Kualitas ruh
tersengat ditentukan oleh makanannya, yakni makanan
ruhaniah, amal shaleh
dan dzikrullah. Semakin suci amal seseorang dari perbuatan
dosa, maka
semakin mampu pula ruh berkomunikasi dengan bahasa siapa dan
harus
memilih bahasa siapa (Allah, manusia, setan dan benda)
sangat ditentukan
energi ruhani ketika dalam keadaan sadar.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa sesungguhnya
ruh saling bertemu diangkasa, saling mengenal atau saling
mengingat.
Malaikat mimpi mendatangi ruh itu dan menampakkan gambaran
yang baik
atau yang buruk. Allah telah mengutus seorang malaikat untuk
mendatangi
52
mimpi yang benar, memberitahukan atau mengilhamkan
pengetahuan tentang
setiap jiwa, nama dan berkaitan dengan agama, dunia dan tidak
ada yang
meleset. Malaikat itu membawa kebaikan dan keburukan orang
itu, dalam
agama dan dunianya. (Purwanto, 2004: 2005).
Mimpi sebagai produk ingatan atau proses mental bisa
dijadikan
sebagai alat bantu atau indikator untuk menganalisa jenis
gangguan fisik atau
psikis seseorang. Sirin (2003: x) dalam kitabnya Ta’wil
Mimpi al-Qur’an dan
Sunnah memberikan solusi dalam mena’wilkan mimpi sebagai
berikut:
1. Mimpi jamaniah. Mimpi ini tidak penting dan disebabkan
oleh fungsi faali
otak yang terganggu, baik disebabkan sakit dan penyakit
seperti demam,
migran, minum dan makan obat yang menyebabkan efek terhadap
fungsi
khayal, imajinasi, fantasi dan halusinasi. Karena kesakitan,
seperti
penyalahgunaan ramua dan obat. Mimpi yang demikian tidak
bersifat
meramalkan, bermakna baik, melainkan berupa hayalan atau
higauan.
2. Mimpi subjektif yang berdasarkan pada pandangan sendiri.
Mimpi ini
penuh lambang-lambang dan bermakna tertentu. Bisa
meramalkan,
membenarkan, menunjukkan sesuatu yang berarti. Namun untuk
mengenalinya, perlu keahlian tertentu, karena tersembunyi di
balik
lambang dan kiasan atau simbol-simbol.
3. Mimpi ini dilaksanakan oleh ruh sendiri dan meramalkan,
menunjukan,
menggambarkan dan membenarkan. Ini merupakan hasil
perjalanan jiwa
ke alam ruhaniah dan merupakan mimpi tingkat tinggi yang
melampaui
keterikatan fisik. 53
Sayyid Qutb menjelaskan bahwa batas waktu dan tempat itulah
yang
menjadi penghalang manusia antara mimpi dan kejadian yang
telah berlalu
dan akan datang, atau masa kini yang terhalang. Masa lalu
dan masa datang
terhalang oleh pergerakan masa kini sebagaimana kita
terhalang oleh masa
kini, peredaran tempat. Indra manusia tidaklah bisa disebut
sebagai
pengetahuan, tetapi hanya sebatas hanya merasa. Kita tidak
tahu sampai di
mana kepekaannya, hanya terlihat oleh kita, mimpi bergambar
yang jelas,
suram, abstrak dan tidak jelas.
Imam Muhammad al-Safari mengatakan bahwa setan menampakkan
sesuatu yang menakutkan dalam tidur, memasukkan kegelisahan,
kebencian
dan bercambur baur segala macam dalam mimpi. Dia sedang
bermain-main,
yaitu segala macam dalam mimpi yang tidak mendatangkan
manfaat dan
hikmah.
Sedangkan Fahd bin Saud al-Ushaimy menganggap bahwa mimpi
yang benar dari Allah dan bunga mimpi dari setan. Yang
menunjukkan bahwa
Allah menciptakan keyakinan ilmu yang mendatangkan kemudahan
tanpa
campur tangan setan dan Allah menciptakan ilmu yang
mendatangkan celaka
dengan campur tangan setan. Campur tangan setan hanyalah
sebagai kiasa,
karena setan tidak berbuat apa-apa.
Kadang mimpi tidak membawa berita gembira, tetapi membawa
peringatan yang sesungguhnya. Adapun menggunakan kata
al-Mubasyirah
(berita-berita gembira) tidak lebih adalah untuk menunjukkan
kejadian
mayoritas. Karena terkadang mimpi tersebut justru menjadi
peringatan bagi
54
orang mukmin, sehingga ia bersiap-siap sebelum peristiwa
datang (al-Uraini,
2003: 41).
Sedangkan Imam Ja’far Shadiq menganggap bahwa hakikat mimpi
merupakan naiknya ruh ke langit dengan kehendak Allah SWT.
Jika ajalnya
telah tiba, maka Allah menyimpannya dalam rahmatnya, di
dalam surganya.
Jika belum datang waktu ajalnya, maka Allah menyuruh
malaikatnya untuk
mengembalikan ke jasadnya semula (Shadiq, 2003: 28).
Ibnu Sirin memandang bahwa Allah SWT., menciptakan mimpi
benar
dengan menghadirkan malaikat yang diwakilkan, sehingga mimpi
yang
demikian ini dinisbatkan kepada malaikat. Allah SWT.
menciptakan mimpi
palsu atau bathil dengan kehadiran setan, maka mimpi seperti
ini dinisbatkan
kepada setan tersebut. Mimpi yang batil selalu mendustakan
ajaran Allah atau
berakibat melanggar ketentuan Allah yang diperintahkannya
(Sirin, 2003:
viii).
Mimpi kabar gembira dari Allah adalah semua mimpi yang
disajikan
manusia dalam tidur baik maupun buruk. Sedangkan mimpi
petakut dari setan
adalah semua mimpi yang menyebabkan mandi wajib, sehingga
mimpi
tersebut dinisbatkan kepadanya. Mimpi yang disertai dengan
rasa lapar atau
terlalu kenyang juga tidak benar sebagaimana orang yang
sedang jaga
mengimpikannya, karena mimpi itu tidak menunjukkan hikmah.
Dalam menginterpretasikan mimpi, Ibnu Sirin berpandangan
bahwa
penafsiran mimpi dapat dilakukan oleh struktur kalbu. Kalbu
mampu
menangkap pesan, simbol dan kenyataan mimpi. Walaupun mimpi
tersebut
irasional, namun maknanya dapat dirasakan dan ditangkap oleh
kalbu
manusia. Gejala-gejala mimpi yang irasional menunjukkan
adanya relativitas
otak manusia (Sirin, 2004: 3).
Makna mimpi hanya dapat dijadikan analogi, pengambilan
pelajaran,
penyerapan dan dugaan. Mimpi tidak dapat dijadikan
pertimbangan dan
dianggap benar, kecuali jika kebenarannya terwujud di dunia
nyata atau tandatanda
yang menunjukkan kebenaran itu sendiri.
Setan tidak dapat menyerupai Nabi saw. di dalam mimpi.
Barangsiapa
yang bermimpi melihat beliau, berarti dia melihat beliau
secara nyata (Sirin,
2004: 2). Selanjutnya Ibnu Khaldun melihat, bahwa dalam
kehidupan seharihari
manusia sebenarnya seringkali berada dalam situasi “tidak
sadarnya”, di
dalam tidur. Dalam keadaan ini, jiwa dapat membuka takbir
pengetahuan,
kegaiban sebagaimana diperlihatkan dalam mimpi. Sebab dalam
jiwa itu
terbebaskan dari benda-benda jasmaniah dan batas-batas
persepsi jasmaniah.
Semua organ tubuh yang melahirkan persepsi istirahat,
sedangkan kekuatan
batinya tetap bergerak, jiwa leluasaanya mencapai dalam
bidang kerohanian
(Thaha, 1987: 84).
Dalam menafsirkan mimpi, Ibnu Sirin memiliki beberapa
karakteristik
simbol mimpi seseorang. Di antaranya:
1. Mimpi yang ditakbirkan dengan al-Qur’an
2. Mimpi yang ditakbirkan dengan hadits
3. Mimpi yang ditakbirkan dengan perumpamaan (amtsal)
4. Mimpi yang ditakbirkan dengan arti sebuah nama (tekstual)
56
5. Mimpi yang ditakbirkan dengan pengertian kontekstual
6. Mimpi yang ditakbirkan dengan makna sebaliknya
7. Mimpi yang ditakbirkan dengan melihat perbedaan perilaku
dan kebiasaan
orang yang mengalami (Jumantoro, 2003: 292).
Perubahan ta’wil mimpi dari masa ke masa yang harus dipahami
bahwa ilmu-ilmu dasar teori ta’wil mimpi lama tidak akan
pernah berubah,
namun yang berubah adalah adat kebiasaan manusia, gaya hidup masyarakat,
etika, akhlak atau moral mereka, cita-cita hidup mereka dan
tingkat prioritas
perhatian mereka terhadap urusan dunia dibandingkan dengan
urusan akhirat
(Sirin, 2003: xxii).
Begitu juga dengan mimpi dalam menafsirkan harus memiliki
beberapa sifat yang dipandang wajib bagi Sirin, di antaranya:
1. Kehati-hatian, yaitu sikap yang menjadi syarat ilmuwan di
manapun. Hal
ini tidak adakan mendorong seseorang tergesa-gesa pada
keyakinan sesaat.
2. Keluasan dan kedalaman analisis, yakni bekal pengetahuan
yang
disyaratkan pada penafsir mimpi, tidak terbatas pada satu
sisi pengetahuan,
bahkan bukan seorang spesialis ilmu.
3. Kualitas pena’wil serta persyaratan yang harus dimiliki
oleh pena’wil yang
meliputi: kode moral, tujuan, kesucian, keimanan,
kesederhanaan dan
kemanusiaan (Sirin, 2003: xx).
Mimpi yang terjadi di bawah alam sadar sebenarnya
memperlihatkan
suatu transformasi dari kesadaran manusia ke tingkat
rohaniah yang lebih
tinggi, yang berbeda-beda macamnya sesuai dengan tingkat
kesiapan jiwa.
57
Sebagian manusia, mempunyai kesiapan jiwa untuk menerima dan
masuk ke
dunia malaikatan yang karenanya iapun mengetahui sesuatu
pengetahuan
kemalaikatan, sehingga manusia memperoleh wahyu atau
kebenaran melalui
mimpi yang shalih (Thaha, 1987: 85).
Tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan
mimpi
dengan jelas dan benar. Orang yang mimpi melakukan hal itu
ialah orang yang
diberi karunia oleh Allah SWT. sebagai pembawaan sejak
lahir. Pembawaan
sejak lahir merupakan daya melihat dengan mata hati terhadap
aneka perkara
gaib. Pemilik daya ini mampu mengendalikan ruhaniahnya untuk
mena’wilkan mimpi secara tepat dan sesuai dengan kenyataan.
Ia dapat
menampilkan hal-hal gaib. Orang yang tidak memiliki
keistimewaan hanya
dapat memberikan ta’wil yang bohong (Sirin, 2004: xvi).
B. Metodologi Tafsir Mimpi Sigmund Freud
Banyak aliran psikologi terkemuka dewasa ini berkembang dari
psikoanalisa. Psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud
dan sering
dinamakan aliran Freud (Freudian School).
Freud adalah seorang neurolog
(ahli syaraf) yang hidup dan membuka praktek di Wina, Austria.
Dia
memantapkan dirinya sebagai seorang peneliti dan dokter yang
cakap,
mengembangkan teknik-teknik laboratorium yang digunakan
dalam penelitian
otak dan juga teknik pembiusan yang digunakan untuk
mengoperasi mata.
Karena keahliannya itulah, maka banyak dokter-dokter Eropa
mengirim pasien
dengan kasus penyakit syaraf ke Freud (Poduska, 1990: 77).
Freud berpendapat bahwa kunci dalam bidang psikoanalisisnya
yaitu
perbuatan dan perasaan dapat ditentukan oleh motivasi yang
tidak disadari.
Proses psikis ditentukan oleh kadar kekuatannya, sedang
motivasi yang
menggerakkan kita adalah kekuatan emosional (Crapps, 1985:
61). Pemikiran
Freud tentang kepribadian terdiri dari sistem yang saling
berhubungan, secara
tradisional sistem itu disebut dengan Id, ego dan superego
(Poduska, 1990:
78).
Id bersifat hedonistic (mencari ketenangan melulu) ialah
berupa
penghindaran kesakitan dan pencarian kesenangan. Id juga
tidak membedakan
antara pikiran dan perbuatan, antara yang nyata dan yang
khayalan. Ego juga
tidak membedakan antara pikiran dan perbuatan nyata dan
hanya khayalan,
ego hanya berperan mensensor pengalaman dalam otak,
sedangkan superego
memainkan peranan yang penting dalam mimpi, yang berkenaan
dengan
perkembangan dan fungsi kepribadian (Poduska, 1990: 84).
Metode untuk menafsirkan mimpi secara dunia ilmu pengetahuan
non
ilmiah menerapkan metode dasar yang yang berupa; Pertama,
melihat isi
mimpi secara keseluruhan dan mencoba menggantinya dengan
yang lain, yang
dapat dimengerti dan dapat disamakan dalam beberapa hal
(tafsir simbolik).
Kedua, adalah sama sekali membuang tuntutan semacam itu. Ia
bisa
digambarkan sebagai metode sandi rahasia, karena dalam
memperlakukan
mimpi sebagai semacam kode rahasia. Setiap tanda
diterjemahkan ke dalam
tanda lain yang diketahui artinya, sesuai dengan kunci yang
telah ditetapkan
(Freud, 2001: 118).
Penerapan konsep dari unsur tunggal dalam mimpi secara
keseluruhan
menunjukkan bahwa mimpi secara menyeluruh diganggu oleh
sesuatu yang
lain, sesuatu yang tidak disadari, dan tugas interpretasi
mimpi ialah
menemukan pemikiran-pemikiran bawah sadar.
Dalam hal interpretasi mimpi Freud (2002) memberikan tiga
peraturan
yang penting yang harus diperhatikan yaitu: 1) Tidak
membedakan makna
yang muncul dari mimpi, apakah beralasan atau absurd, jelas
atau
membingungkan, sebab tak ada kasus yang menunjukkan bahwa
makna
tersebut adalah pemikiran “bawah sadar” yang dicari.1
2) Membatasi untuk
membangkitkan ide-ide pengganti dari setiap unsur dan tidak
mempertimbangkannya terlalu dalam untuk melihat apakah
ide-ide itu berisi
sesuatu yang sesuai dengan harapan, dan juga tidak perlu
mempersulit diri
dengan mengikuti seberapa jauh ide-ide itu membawa kita
menuju unsur
mimpi. 3) Menunggu sampai pemikiran bawah sadar yang
tersembunyi
muncul dengan sendirinya.
Mimpi yang diingat banyak ataupun sedikit tidak ada bedanya
sama
sekali, hanya berupa substitusi pengganggu yang dimunculkan
lewat ide-ide
pengganti, dan memberi sarana pendekatan pemikiran yang
tepat serta untuk
membangkitkan pemikiran bawah sadar yang mendasari mimpi ke
dalam
kesadaran.
1
Perlu dicatat bahwa
dalam menggunakan kata “bawah sadar” (unconscious), terjemahan
dari bahasa Jerman “Unbewusst”, ia berarti “ketiadaan
kesadaran” misalnya dalam frase “dia
terbaring tak sadarkan diri”, “sebuah batu tak sadar”, dan
sebagainya. Unbewusst lebih berarti
“tidak sadarkan diri”, sesuatu yang tidak dimengerti pelaku.
Dari sini, dua pernyataan mungkin
bisa diprediksikan, bukan saja bahwa ia tidak sadarkan diri
dalam dirinya atau tentang dirinya,
tetapi juga bahwa pelaku (subjek) tidak sadar tentang
keberadaannya (Freud, 2002: 112).
60
1. Mimpi sebagai Pemenuhan Harapan
Di antara situasi yang cocok untuk menimbulkan kegiatan
bawah
sadar, adalah situasi di mana kesadaran terbius dengan jalan
menggunakan
obat-obatan bius atau yang memabukkan (El-Quussy, 1974:
171).
Gulen (1994: 63) ketika dalam alam bawah sdar (yaitu pikiran
dan
kemauan kita, dorongan dan pengalaman masa lalu) terbuka
secara tidak
sadar. Dalam kondisi sakit atau lapar bahkan menghadapi
permasalahan yang
tidak dapat terpecahkan, imajinasi memberikan bentuk
penyimpangan watak
jelek, atau pikiran masih ingat peristiwa menarik masa
lampau dan
memberikan bentuk baru yang berbeda. Semua bentuk mimpi
seperti itu
bercampur, mereka memiliki makna, tetapi tidak dapat
diinterpretasikan.
Biasanya mimpi dirangsang oleh suatu rangsangan luar,
seperti halnya
berita, pikiran, penyaksian waktu bangun, perangsang yang
terasa waktu tidur
(El-Quussy, 1974: 171). Sehingga di antara usaha mimpi
adalah pemadatan
(icondensation)2
dengan itu
tercapailah sekaligus dua atau lebih keinginan.
Ternyata bahwa pada tidur yang nyenyak, mimpi itu terjadi
dalam bentuk
sungguh-sungguh, akan tetapi pada keadaan tidur yang kurang
nyenyak,
mimpi itu terjadi sering diketahui sendiri bahwa dirinya
bermimpi.
Hubungan antara mimpi dan hari depan, dapat ditafsirkan
dengan apa
yang dinamakan ramalan yang tidak dapat disadari, artinya,
bahwa ada
2
Pengaruh pemadatan
itu tampak dalam usaha yang tidak disadari dalam kehidupan
sehari-hari, ada orang yang banyak bicara dengan dua
dorongan yang berlawanan, Pertama,
dorongan untuk menyatakan diri dan Kedua, pembelaan diri,
sehingga pendengar tidak
mengajukan pertanyaan atau membantah
61
petunjuk-petunjuk yang lewat pada pikiran untuk dipegang
terhadap apa yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang (El-Quussy, 1974:
177).
Schepner (1861) mendukung pandangan bahwa mimpi berasal dari
stimuli organik dan memberi sumbangan atas hubungan isi
mimpi dengan
kondisi rangsangan organ seksual ternyata sangat kuat
(freud, 2002: 92).
Mimpi bukan saja memproduksi stimulus tapi juga memberi
tambahan,
memainkan, menyesuaikan dengan konteks lain atau bahkan
merubah menjadi
sesuatu yang lain.
Aristoteles (1881) mendefinisikan mimpi merupakan kelanjutan
proses
berfikir dalam tidur, lalu ketika saat sadar pikiran kita
menampilkan prosesproses
psikis (penilaian, penyimpulan, jawaban atas keberatan,
pengharapan,
keinginan dan sebagainya) (Freud, 2001: 515).
Harapan yang direalisasikan dalam mimpi itu berasal dari: 1)
Mimpi
dibangkitkan sejak hari sebelumnya, namun karena
keadaan-keadaan eksternal
ia belum terpuaskan, sehingga di malam hari pertanyaan dan
harapan-harapan
tak terpuaskan itu muncul, 2) Mimpi muncul di hari sebelumnya
hanya untuk
kemudian ditolak atau dibuang, sehingga di malam hari akan
tersisa harapan
tak terpuaskan dan ditekan, 3) mimpi tidak memiliki hubungan
dengan hidup
keseharian, namun mimpi adalah harapan-harapan yang hanya
bisa
dibangkitkan di malam hari sebagai materi-materi yang
tertekan dalam diri
manusia. Jika kembali pada pola apartus psikis, maka manusia
bisa
melokalisir harapan pada urutan pertama dalam system
prasadar. Bisa
diasumsikan bahwa harapan pada urutan kedua telah dilempar
kembali dari
62
system prasadar menuju sistem bawah sadar, di mana harapan
itu sebenarnya
bisa mempertahankan dirinya sendiri (Freud, 2001: 516).
Dalam pembentukan mimpi, rangsangan harapan yang diabaikan
alam
sadar akan dipindahkan ke latar belakang, sehingga mimpi tak
memainkan
peran apapun, kecuali peran-peran yang diberikan pada
materi-materi sensasi
aktual selama tidur dalam hubungan dengan isi mimpi, sesuai
dengan jalur
pikiran.
2. Distorsi dalam Mimpi
Robert (1911) menyatakan bahwa mimpi berfungsi untuk
membuang
ingatan-ingatan kita tentang kesan-kesan tidak berguna yang
diterima pada
hari itu dan tidak bisa lagi dipertahankan ketika
ingatan-ingatan remeh dari
masa kanak-kanak juga muncul dalam mimpi dengan frekuensi
tertentu
(Freud, 2004: 328).
Distorsi menyebabkan mimpi tampak aneh dan tidak jelas. Ada
beberapa hal yang ingin diketahui dari distorsi: 1) darimana
asalnya, 2)
bagaimana melakukannya. Kita bisa mengatakan bahwa distorsi
adalah hasil
kerja mimpi (Freud, 2001: 139).
Mendeskripsikan kerja mimpi menurut Van Hug dan Hellmuth
(ahli
psikoanalisa) bahwa mimpi yang dialami oleh seorang wania
tua juga
membutuhkan interpretasi karena mimpi yang dialami mempunyai
hubungan
dengan lamunan. Mimpi itu hanya mendapat sedikit distorsi.
hal yang paling
menarik adalah terjadinya kekosongan, bukan dalam
mengingatnya, tapi pada
63
isinya. Ada
tiga tempat yang hilang yaitu saat pembicaraan di sela gumaman,
isi mimpi yang berupa gumaman yang tidak jelas, sesuatu yang
hilang atau
ditutup-tutupi. Menyadari bahwa faktor-faktor kejutan juga
tidak mendorong
ditutup-tutupi elemen mimpi (Freud, 2001: 142).
3. Psikologis dalam Proses Mimpi
Freud mengambil makna mimpi sebagai obyek studinya. Salah
satu
alasan ialah persamaan yang ditemukan antara reaksi-reaksi
para pasien dalam
keadaan hipnosa dengan mimpi biasa. Alasan lain ialah bahwa
cerita tentang
mimpi menjadi suatu unsur penting dalam pengobatan
psikoanalisis sejak ia
pindah ke metode asosiasi bebas dan alasan yang paling
menentukan ialah
pengalaman tentang mimpi-mimpinya memungkinkan Freud
melakukan
psikoanalisa terhadap dirinya (Bertens, 1991: xxv).
Salah satu aktivitas psikologis yang terjadi disaat tidur
adalah mimpi.
Mimpi merupakan keadaan kesadaran yang berubah di mana citra
dan fantasi
yang teringat secara sementara dikacaukan oleh realitas
eksternal (Mujib dan
Mudzakir, 2001: 304). Freud memandang perilaku manusia
banyak
dipengaruhi oleh masa lalu ketidaksadaran, dan
dorongan-dorongan biologis
(nafsu-nafsu), yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera
dipenuhi
(Baharuddin, 2004: 175).
Kajian komparatif dari seluruh fenomena tentang
asumsi-asumsi
psikologis yang didasarkan pada analisis mimpi harus
menggabungkan
penelitian-penelitian lain (dari titik pangkal lain) yang
juga mencoba masuk ke
64
dalam permasalahan yang sama, sehingga mimpi dapat mudah
diketahui
faktor-faktor psikologisnya (Freud, 2001: 474).
Freud (2004: 475) mengkategorikan faktor-faktor psikologis
dalam
proses mimpi meliputi:
a. Pelupaan Mimpi
Hasil yang diingat kembali dari mimpi, dengan apa yang
kemudian
dijadikan subjek dari metode tafsir mimpi, pada awalnya
dirusak oleh
faktor inkonsistensi ingatan (yang terutama sekali tak mampu
untuk
menyimpan mimpi) dan mungkin justru telah mengabaikan
bagian-bagian
paling signifikan dari isi mimpi tersebut. Ketika mencoba
mengingat
mimpi dengan lebih seksama, acap kali muncul pikiran bahwa
telah
memimpikan lebih banyak dari apa yang bisa diingat, bahkan
ingatan
tentang satu kepingan mimpi inipun tampak sangat tidak jelas
(Freud,
2004: 475).
Fenomena melupakan mimpi juga tetap tak akan bisa dipahami,
hingga dalam menjelaskannya dalam ruang lingkup proses
sensor psikis.
Perasaan atau sensasi yang muncul dalam mimpi seseorang
secara berkalikali
sepanjang malam dan hanya sebagian kecil saja yang tetap
tersimpan,
mungkin masih mempunyai arti lain pada sejumlah persoalan,
mungkin
bisa berarti bahwa kerja mimpi berjalan sepanjang malam
dalam cara-cara
yang bisa dipahami, tapi kemudian hanya meninggalkan satu
mimpi
singkat. Meskipun demikian, tidak terdapat keraguan bahwa
mimpi akan
semakin terlupakan setelah terjaga, meskipun upaya-upaya
yang kadang
65
menyakitkan harus dilakukan untuk mengingatnya kembali
(Freud, 2004:
481).
Mimpi berbeda dengan kesalahan pengucapan karena terdiri
dari
banyak unsur. Mempertimbangkan beberapa tehnik, sebaiknya
membagi
mimpi berdasarkan variasi unsur dan mempelajarinya secara
terpisah,
kemudian baru membangun kembali analogi dengan keseleo
lidah. Orang
yang bermimpi apabila ditanyai salah satu unsur mimpinya
akan
menjawab dia tidak mengetahuinya, karena ia tidak ingat akan
mimpinya
(Freud, 2001: 103).
Biarpun dalam keadaan tidur respresi pihak ego memang kurang
ketat, namun tidak berarti bahwa represi itu terhapus sama
sekali. Juga
waktu tidur keinginan yang direpresi tidak lolos dari
sensor. Tetapi
keinginan itu mencari akal untuk menipu sensor, yaitu dengan
mengubah
bentuknya atau dengan kata lain dengan menggunakan kedok.
Dengan
demikian batasan yang diberikan Freud tentang mimpi adalah
cara
berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi
yang
berfungsi melindungi tidur. Psikologi menggambarkan kepada
kita bahwa
factor utama yang menentukan dalam proses pembentukan mimpi
ialah
kondisi pasif jiwa yakni pembentukan mimpi tetap berjalan
dengan
mengurangi proses sensor endopsikis (Freud, 2004: 491).
b. Regresi
Dalam penelitian psikologis yang telah lama meringkas
hasil-hasil
utama dalam penelitian yang telah dilakukan. Mimpi adalah
aktivitas
66
psikis yang penuh dengan kepentingan, kekuatan motifnya
selalu
pemenuhan harapan, dan begitu banyaknya keanehan serta
absurditas di
dalamnya adalah pengaruh dari proses sensor psikis yang
bekerja selama
pembentukan mimpi (Freud, 2004: 497). Di samping kebutuhan
agar
terhindar dari proses sensor, factor-faktor yang berperan
dalam
pembentukan mimpi ialah: 1) Proses kondensasi materi-materi
psikis, 2)
Berkenaan tentang kelayakan untuk mewakili rangsangan
inderawi
(representabilitas), 3) Tidak kontinue faktor eksterior
struktur mimpi yang
rasional dan jelas.
Albertus Magnus (1895) mendeskripsikan unsur regresi bermula
dari imajinasi membangun mimpi di luar objek-objek nyata
yang
disimpannya. Proses ini berkebalikan dengan yang terjadi
pada alam sadar.
Sedangkan Hobbes mengartikan regresi mimpi adalah kebalikan
dari
imajinasi kita. Gerakan disaat terjaga dimulai dari satu
sisi misalnya,
dalam mimpi akan dimulai dari sisi yang lain (Freud, 2004:
599).
Dalam pendapat lain, Maeder (1950) berusaha mencari fungsi
mimpi yang lain. Ia mulai dari sebuah pengamatan bahwa
banyak mimpi
berisi usaha untuk memberikan solusi konflik, yang
setelahnya benarbenar
bisa diterapkan. Sehingga mereka bertindak seperti sedang
mengemas persiapan bagi aktivitas sadar. Dia kemudian
menarik garis
sejajar antara bermimpi dan peran binatang serta anak-anak,
yang
dibayangkan sebagai suatu latihan bagi naluri mereka dan
persiapan bagi
kehidupan mereka kelak, sehingga justru menghasilkan fungsi
mimpi yang
67
terkesan menggelikan. Sedangkan Adler (1905) juga menekankan
fungsi
berpikir mendahului mimpi. Analisisnya berupa mimpi yang
dipahami
sebagai mimpi solusi yang terus menerus muncul beberapa
malam, hingga
akhirnya menghilang setelah solusi tersebut benar-benar
diterapkan
(Freud, 2004: 601).
c. Pemenuhan Harapan
Mimpi tak lain akan berisi sebuah pemenuhan harapan, jelas
akan
tampak aneh bagi kita semua, karena adanya kontradiksi yang
diberikan
dalam kegelisahan. Analisis sesungguhnya mampu memberikan
pencerahan dan makna dan nilai psikis tersembunyi di
belakang mimpi,
dan tanpa terduga sama sekali ternyata determinasi makna
tersebut adalah
satu kesatuan (Freud, 2004: 515).
Menurut Aristoteles (1881) mimpi merupakan kelanjutan proses
berpikir dalam tidur. Lalu ketika (pada saat sadar) pikiran
kita
menampilkan proses-proses psikis (penilaian, penyimpulan,
jawaban atas
keberatan, pengharapan, keinginan), yang di sisi lain mimpi
menampilkan
aktivitas psikis yang berlainan (misalnya rasa cemas).
Dalam pembentukan mimpi, rangsangan harapan yang diabaikan
alam sadar akan dipindahkan ke latar belakang,
masalah-masalah yang
belum terpecahkan, perhatian yang mengusik, kesan-kesan yang
berlimpah, terus bekerja dalam pikiran kita selama tidur.
Mempertahankan
proses psikis dalam system yang kita sebut prasadar. Pikiran
yang
dilanjutkan dalam tidur dapat diklasifikasikan dalam
kelompok-kelompok
68
berikut 1) Rangsangan yang belum diselesaikan di siang hari,
karena satu
dan lain hal 2) Rangsangan yang dibiarkan tidak selesai,
karena kekuatan
mental kita gagal menyelesaikannya, 3) Rangsangan yang
diabaikan dan
ditekan, 4) Rangsangan yang dibangkitkan di bawah sadar oleh
kerja
sistem prosedur (di siang harinya), 5) Kesan-kesan biasa di
siang hari yang
kemudian dibiarkan tanpa kapasitas akan maknanya (Freud,
2004: 520).
Agar tidak terjadi mimpi jasmaiah yang menakutkan oleh
Khalil A.
Khavari memberikan pandangannya, Tips for Going to Sleep is:
1. Find out about your circadian rhythm
2. Arranges your work rest schedule
3. Establish a routire (Khavari, 1999: 258).
Sedangkan waktu mimpi ada yang cepat dan ada yang lambat
sebagaimana Josie Hadley and Carol Staudacher mengatakan
bahwa the
voice for the basic induction of dream is usually one of two
types:
monoton or rhythmic (Hadley and Staudacher, 1989: 29).
Mimpi waktu tidur adalah sama dengan mimpi waktu bangun,
yaitu pikiran-pikiran dan khayalan di mana seseorang
menerawang, ketika
ia menyatakan sedang ngelamun. Dalam mimpi sedang bangun
itu, banyak
keinginan-keinginan yang tercapai, seperti ingin terlepas
dari bapak, dari
ibu, sekolah, keadaan membujang, memikul tanggung jawab,
mencapai
kekayaan, kepuasan, perkawinan, syahwat, atau lain-lainnya,
yang
diinginkan oleh jiwa, yang kadang-kadang tidak mudah
mencapai dalam
kenyataan (El-Quussy, 1974: 175).
69
Antara mimpi dan hari depan, dapat ditafsirkan dengan apa
yang
dinamakan ramalan yang tidak disadari, artinya bahwa ada
petunjukpetunjuk
yang lewat pada pikiran untuk dipegang terhadap apa yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang (El-Quussy, 1974:
177).
Label :
Mimpi, Makna Mimpi, Tafsir Mimpi, Verri JP MA, thera afiat,
artikel, Kelapa Gading, Ibn Sirin, Sigmund Freud