Senin, 06 Juli 2015

TAFSIR MIMPI IBNU SIRIN DENGAN SIGMUND FREUD




A. Metodologi Tafsir Mimpi Ibnu Sirin
Ibnu Sirin adalah seorang muslim generasi awal sekaligus perawi
hadits. Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad Ibnu Sirin. Ia dilahirkan
di kota Bashrah, Irak pada 33 H. (653 M.) dan wafat pada tahun 110 H. (730
M.) (Purwanto, 2003: 288).

Dimasa hidupnya, Ibnu Sirin adalah seorang penulis termasyhur dan
ulama terhormat. Ia hidup di abad pertama kekhalifahan Islam dan belajar
fikih serta hadits dari tangan pengikut pertama shahabat-shahabat Rasulullah
saw. Di antara tokoh-tokoh yang sezaman dengannya adalah Imam Anas Ibn
Malik, al-Hasan ibn al-Hasan al-Bashri, Ibnu Awn al-Fudhayl ibn ‘Lyadh dan
banyak lainnya.

Tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan mimpi
dengan jelas dan benar. Orang yang mimpi melakukan hal itu ialah orang yang
diberi karunia oleh Allah SWT. sebagai pembawaan sejak lahir. Pembawaan
sejak lahir merupakan daya melihat dengan mata hati terhadap aneka perkara
gaib. Pemilik daya ini mampu mengendalikan ruhaniahnya untuk
mena’wilkan mimpi secara tepat dan sesuai dengan kenyataan. Ia dapat
menampilkan hal-hal gaib. Orang yang tidak memiliki keistimewaan hanya
dapat memberikan ta’wil yang bohong (Sirin, 2004: xvi).
 51

Kemanakah sekarang ini manusia mena’wilkan mimpi? Pertanyaan ini
mengguncang akal manusia sepanjang masa. Al-Qur’an mengabadikan
pertanyaan ini sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat
60.

Artinya: “Dan ingatlah ketika kami wahyukan kepadamu: “sesungguhnya
(ilmu) Tuhanmu meliputi gejala manusia”. Dan kami tidak
menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagian ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu
yang terkutuk dalam al-Qur’an. Dan kami menakuti mereka, tetapi
yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka”
(QS. al-Isra’: 60) (Depag RI, 1985: 433).

Pada kondisi tidur, ruh manusia seolah naik vertikal, tetapi tidak
dilepaskan dari jasad manusia, kemampuannya berkomunikasi dengan
makhluk dan alam lain tergantung pada kualitas ruh tersebut. Kualitas ruh
tersengat ditentukan oleh makanannya, yakni makanan ruhaniah, amal shaleh
dan dzikrullah. Semakin suci amal seseorang dari perbuatan dosa, maka
semakin mampu pula ruh berkomunikasi dengan bahasa siapa dan harus
memilih bahasa siapa (Allah, manusia, setan dan benda) sangat ditentukan
energi ruhani ketika dalam keadaan sadar.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa sesungguhnya
ruh saling bertemu diangkasa, saling mengenal atau saling mengingat.
Malaikat mimpi mendatangi ruh itu dan menampakkan gambaran yang baik
atau yang buruk. Allah telah mengutus seorang malaikat untuk mendatangi
 52

mimpi yang benar, memberitahukan atau mengilhamkan pengetahuan tentang
setiap jiwa, nama dan berkaitan dengan agama, dunia dan tidak ada yang
meleset. Malaikat itu membawa kebaikan dan keburukan orang itu, dalam
agama dan dunianya. (Purwanto, 2004: 2005).

Mimpi sebagai produk ingatan atau proses mental bisa dijadikan
sebagai alat bantu atau indikator untuk menganalisa jenis gangguan fisik atau
psikis seseorang. Sirin (2003: x) dalam kitabnya Ta’wil Mimpi al-Qur’an dan
Sunnah memberikan solusi dalam mena’wilkan mimpi sebagai berikut:

1. Mimpi jamaniah. Mimpi ini tidak penting dan disebabkan oleh fungsi faali
otak yang terganggu, baik disebabkan sakit dan penyakit seperti demam,
migran, minum dan makan obat yang menyebabkan efek terhadap fungsi
khayal, imajinasi, fantasi dan halusinasi. Karena kesakitan, seperti
penyalahgunaan ramua dan obat. Mimpi yang demikian tidak bersifat
meramalkan, bermakna baik, melainkan berupa hayalan atau higauan.

2. Mimpi subjektif yang berdasarkan pada pandangan sendiri. Mimpi ini
penuh lambang-lambang dan bermakna tertentu. Bisa meramalkan,
membenarkan, menunjukkan sesuatu yang berarti. Namun untuk
mengenalinya, perlu keahlian tertentu, karena tersembunyi di balik
lambang dan kiasan atau simbol-simbol.

3. Mimpi ini dilaksanakan oleh ruh sendiri dan meramalkan, menunjukan,
menggambarkan dan membenarkan. Ini merupakan hasil perjalanan jiwa
ke alam ruhaniah dan merupakan mimpi tingkat tinggi yang melampaui
keterikatan fisik. 53

Sayyid Qutb menjelaskan bahwa batas waktu dan tempat itulah yang
menjadi penghalang manusia antara mimpi dan kejadian yang telah berlalu
dan akan datang, atau masa kini yang terhalang. Masa lalu dan masa datang
terhalang oleh pergerakan masa kini sebagaimana kita terhalang oleh masa
kini, peredaran tempat. Indra manusia tidaklah bisa disebut sebagai
pengetahuan, tetapi hanya sebatas hanya merasa. Kita tidak tahu sampai di
mana kepekaannya, hanya terlihat oleh kita, mimpi bergambar yang jelas,
suram, abstrak dan tidak jelas.

Imam Muhammad al-Safari mengatakan bahwa setan menampakkan
sesuatu yang menakutkan dalam tidur, memasukkan kegelisahan, kebencian
dan bercambur baur segala macam dalam mimpi. Dia sedang bermain-main,
yaitu segala macam dalam mimpi yang tidak mendatangkan manfaat dan
hikmah.

Sedangkan Fahd bin Saud al-Ushaimy menganggap bahwa mimpi
yang benar dari Allah dan bunga mimpi dari setan. Yang menunjukkan bahwa
Allah menciptakan keyakinan ilmu yang mendatangkan kemudahan tanpa
campur tangan setan dan Allah menciptakan ilmu yang mendatangkan celaka
dengan campur tangan setan. Campur tangan setan hanyalah sebagai kiasa,
karena setan tidak berbuat apa-apa.

Kadang mimpi tidak membawa berita gembira, tetapi membawa
peringatan yang sesungguhnya. Adapun menggunakan kata al-Mubasyirah
(berita-berita gembira) tidak lebih adalah untuk menunjukkan kejadian
mayoritas. Karena terkadang mimpi tersebut justru menjadi peringatan bagi
 54

orang mukmin, sehingga ia bersiap-siap sebelum peristiwa datang (al-Uraini,
2003: 41).

Sedangkan Imam Ja’far Shadiq menganggap bahwa hakikat mimpi
merupakan naiknya ruh ke langit dengan kehendak Allah SWT. Jika ajalnya
telah tiba, maka Allah menyimpannya dalam rahmatnya, di dalam surganya.
Jika belum datang waktu ajalnya, maka Allah menyuruh malaikatnya untuk
mengembalikan ke jasadnya semula (Shadiq, 2003: 28).
Ibnu Sirin memandang bahwa Allah SWT., menciptakan mimpi benar
dengan menghadirkan malaikat yang diwakilkan, sehingga mimpi yang
demikian ini dinisbatkan kepada malaikat. Allah SWT. menciptakan mimpi
palsu atau bathil dengan kehadiran setan, maka mimpi seperti ini dinisbatkan
kepada setan tersebut. Mimpi yang batil selalu mendustakan ajaran Allah atau
berakibat melanggar ketentuan Allah yang diperintahkannya (Sirin, 2003:
viii).

Mimpi kabar gembira dari Allah adalah semua mimpi yang disajikan
manusia dalam tidur baik maupun buruk. Sedangkan mimpi petakut dari setan
adalah semua mimpi yang menyebabkan mandi wajib, sehingga mimpi
tersebut dinisbatkan kepadanya. Mimpi yang disertai dengan rasa lapar atau
terlalu kenyang juga tidak benar sebagaimana orang yang sedang jaga
mengimpikannya, karena mimpi itu tidak menunjukkan hikmah.
Dalam menginterpretasikan mimpi, Ibnu Sirin berpandangan bahwa
penafsiran mimpi dapat dilakukan oleh struktur kalbu. Kalbu mampu
menangkap pesan, simbol dan kenyataan mimpi. Walaupun mimpi tersebut
irasional, namun maknanya dapat dirasakan dan ditangkap oleh kalbu
manusia. Gejala-gejala mimpi yang irasional menunjukkan adanya relativitas
otak manusia (Sirin, 2004: 3).

Makna mimpi hanya dapat dijadikan analogi, pengambilan pelajaran,
penyerapan dan dugaan. Mimpi tidak dapat dijadikan pertimbangan dan
dianggap benar, kecuali jika kebenarannya terwujud di dunia nyata atau tandatanda
yang menunjukkan kebenaran itu sendiri.

Setan tidak dapat menyerupai Nabi saw. di dalam mimpi. Barangsiapa
yang bermimpi melihat beliau, berarti dia melihat beliau secara nyata (Sirin,
2004: 2). Selanjutnya Ibnu Khaldun melihat, bahwa dalam kehidupan seharihari
manusia sebenarnya seringkali berada dalam situasi “tidak sadarnya”, di
dalam tidur. Dalam keadaan ini, jiwa dapat membuka takbir pengetahuan,
kegaiban sebagaimana diperlihatkan dalam mimpi. Sebab dalam jiwa itu
terbebaskan dari benda-benda jasmaniah dan batas-batas persepsi jasmaniah.
Semua organ tubuh yang melahirkan persepsi istirahat, sedangkan kekuatan
batinya tetap bergerak, jiwa leluasaanya mencapai dalam bidang kerohanian
(Thaha, 1987: 84).

Dalam menafsirkan mimpi, Ibnu Sirin memiliki beberapa karakteristik
simbol mimpi seseorang. Di antaranya:
1. Mimpi yang ditakbirkan dengan al-Qur’an
2. Mimpi yang ditakbirkan dengan hadits
3. Mimpi yang ditakbirkan dengan perumpamaan (amtsal)
4. Mimpi yang ditakbirkan dengan arti sebuah nama (tekstual)
 56
5. Mimpi yang ditakbirkan dengan pengertian kontekstual
6. Mimpi yang ditakbirkan dengan makna sebaliknya
7. Mimpi yang ditakbirkan dengan melihat perbedaan perilaku dan kebiasaan
orang yang mengalami (Jumantoro, 2003: 292).

Perubahan ta’wil mimpi dari masa ke masa yang harus dipahami
bahwa ilmu-ilmu dasar teori ta’wil mimpi lama tidak akan pernah berubah,
namun yang berubah adalah adat kebiasaan manusia, gaya hidup masyarakat,
etika, akhlak atau moral mereka, cita-cita hidup mereka dan tingkat prioritas
perhatian mereka terhadap urusan dunia dibandingkan dengan urusan akhirat
(Sirin, 2003: xxii).

Begitu juga dengan mimpi dalam menafsirkan harus memiliki
beberapa sifat yang dipandang wajib bagi Sirin, di antaranya:

1. Kehati-hatian, yaitu sikap yang menjadi syarat ilmuwan di manapun. Hal
ini tidak adakan mendorong seseorang tergesa-gesa pada keyakinan sesaat.

2. Keluasan dan kedalaman analisis, yakni bekal pengetahuan yang
disyaratkan pada penafsir mimpi, tidak terbatas pada satu sisi pengetahuan,
bahkan bukan seorang spesialis ilmu.

3. Kualitas pena’wil serta persyaratan yang harus dimiliki oleh pena’wil yang
meliputi: kode moral, tujuan, kesucian, keimanan, kesederhanaan dan
kemanusiaan (Sirin, 2003: xx).

Mimpi yang terjadi di bawah alam sadar sebenarnya memperlihatkan
suatu transformasi dari kesadaran manusia ke tingkat rohaniah yang lebih
tinggi, yang berbeda-beda macamnya sesuai dengan tingkat kesiapan jiwa.
 57
Sebagian manusia, mempunyai kesiapan jiwa untuk menerima dan masuk ke
dunia malaikatan yang karenanya iapun mengetahui sesuatu pengetahuan
kemalaikatan, sehingga manusia memperoleh wahyu atau kebenaran melalui
mimpi yang shalih (Thaha, 1987: 85).
Tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan mimpi
dengan jelas dan benar. Orang yang mimpi melakukan hal itu ialah orang yang
diberi karunia oleh Allah SWT. sebagai pembawaan sejak lahir. Pembawaan
sejak lahir merupakan daya melihat dengan mata hati terhadap aneka perkara
gaib. Pemilik daya ini mampu mengendalikan ruhaniahnya untuk
mena’wilkan mimpi secara tepat dan sesuai dengan kenyataan. Ia dapat
menampilkan hal-hal gaib. Orang yang tidak memiliki keistimewaan hanya
dapat memberikan ta’wil yang bohong (Sirin, 2004: xvi).

B. Metodologi Tafsir Mimpi Sigmund Freud
Banyak aliran psikologi terkemuka dewasa ini berkembang dari
psikoanalisa. Psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud dan sering
dinamakan aliran Freud (Freudian School). Freud adalah seorang neurolog
(ahli syaraf) yang hidup dan membuka praktek di Wina, Austria. Dia
memantapkan dirinya sebagai seorang peneliti dan dokter yang cakap,
mengembangkan teknik-teknik laboratorium yang digunakan dalam penelitian
otak dan juga teknik pembiusan yang digunakan untuk mengoperasi mata.
Karena keahliannya itulah, maka banyak dokter-dokter Eropa mengirim pasien
dengan kasus penyakit syaraf ke Freud (Poduska, 1990: 77).

Freud berpendapat bahwa kunci dalam bidang psikoanalisisnya yaitu
perbuatan dan perasaan dapat ditentukan oleh motivasi yang tidak disadari.
Proses psikis ditentukan oleh kadar kekuatannya, sedang motivasi yang
menggerakkan kita adalah kekuatan emosional (Crapps, 1985: 61). Pemikiran
Freud tentang kepribadian terdiri dari sistem yang saling berhubungan, secara
tradisional sistem itu disebut dengan Id, ego dan superego (Poduska, 1990:
78).

Id bersifat hedonistic (mencari ketenangan melulu) ialah berupa
penghindaran kesakitan dan pencarian kesenangan. Id juga tidak membedakan
antara pikiran dan perbuatan, antara yang nyata dan yang khayalan. Ego juga
tidak membedakan antara pikiran dan perbuatan nyata dan hanya khayalan,
ego hanya berperan mensensor pengalaman dalam otak, sedangkan superego
memainkan peranan yang penting dalam mimpi, yang berkenaan dengan
perkembangan dan fungsi kepribadian (Poduska, 1990: 84).
Metode untuk menafsirkan mimpi secara dunia ilmu pengetahuan non
ilmiah menerapkan metode dasar yang yang berupa; Pertama, melihat isi
mimpi secara keseluruhan dan mencoba menggantinya dengan yang lain, yang
dapat dimengerti dan dapat disamakan dalam beberapa hal (tafsir simbolik).
Kedua, adalah sama sekali membuang tuntutan semacam itu. Ia bisa
digambarkan sebagai metode sandi rahasia, karena dalam memperlakukan
mimpi sebagai semacam kode rahasia. Setiap tanda diterjemahkan ke dalam
tanda lain yang diketahui artinya, sesuai dengan kunci yang telah ditetapkan
(Freud, 2001: 118).

Penerapan konsep dari unsur tunggal dalam mimpi secara keseluruhan
menunjukkan bahwa mimpi secara menyeluruh diganggu oleh sesuatu yang
lain, sesuatu yang tidak disadari, dan tugas interpretasi mimpi ialah
menemukan pemikiran-pemikiran bawah sadar.
Dalam hal interpretasi mimpi Freud (2002) memberikan tiga peraturan
yang penting yang harus diperhatikan yaitu: 1) Tidak membedakan makna
yang muncul dari mimpi, apakah beralasan atau absurd, jelas atau
membingungkan, sebab tak ada kasus yang menunjukkan bahwa makna
tersebut adalah pemikiran “bawah sadar” yang dicari.1
 2) Membatasi untuk
membangkitkan ide-ide pengganti dari setiap unsur dan tidak
mempertimbangkannya terlalu dalam untuk melihat apakah ide-ide itu berisi
sesuatu yang sesuai dengan harapan, dan juga tidak perlu mempersulit diri
dengan mengikuti seberapa jauh ide-ide itu membawa kita menuju unsur
mimpi. 3) Menunggu sampai pemikiran bawah sadar yang tersembunyi
muncul dengan sendirinya.
Mimpi yang diingat banyak ataupun sedikit tidak ada bedanya sama
sekali, hanya berupa substitusi pengganggu yang dimunculkan lewat ide-ide
pengganti, dan memberi sarana pendekatan pemikiran yang tepat serta untuk
membangkitkan pemikiran bawah sadar yang mendasari mimpi ke dalam
kesadaran.
 1
 Perlu dicatat bahwa dalam menggunakan kata “bawah sadar” (unconscious), terjemahan
dari bahasa Jerman “Unbewusst”, ia berarti “ketiadaan kesadaran” misalnya dalam frase “dia
terbaring tak sadarkan diri”, “sebuah batu tak sadar”, dan sebagainya. Unbewusst lebih berarti
“tidak sadarkan diri”, sesuatu yang tidak dimengerti pelaku. Dari sini, dua pernyataan mungkin
bisa diprediksikan, bukan saja bahwa ia tidak sadarkan diri dalam dirinya atau tentang dirinya,
tetapi juga bahwa pelaku (subjek) tidak sadar tentang keberadaannya (Freud, 2002: 112).
 60
1. Mimpi sebagai Pemenuhan Harapan
Di antara situasi yang cocok untuk menimbulkan kegiatan bawah
sadar, adalah situasi di mana kesadaran terbius dengan jalan menggunakan
obat-obatan bius atau yang memabukkan (El-Quussy, 1974: 171).
Gulen (1994: 63) ketika dalam alam bawah sdar (yaitu pikiran dan
kemauan kita, dorongan dan pengalaman masa lalu) terbuka secara tidak
sadar. Dalam kondisi sakit atau lapar bahkan menghadapi permasalahan yang
tidak dapat terpecahkan, imajinasi memberikan bentuk penyimpangan watak
jelek, atau pikiran masih ingat peristiwa menarik masa lampau dan
memberikan bentuk baru yang berbeda. Semua bentuk mimpi seperti itu
bercampur, mereka memiliki makna, tetapi tidak dapat diinterpretasikan.
Biasanya mimpi dirangsang oleh suatu rangsangan luar, seperti halnya
berita, pikiran, penyaksian waktu bangun, perangsang yang terasa waktu tidur
(El-Quussy, 1974: 171). Sehingga di antara usaha mimpi adalah pemadatan
(icondensation)2
 dengan itu tercapailah sekaligus dua atau lebih keinginan.
Ternyata bahwa pada tidur yang nyenyak, mimpi itu terjadi dalam bentuk
sungguh-sungguh, akan tetapi pada keadaan tidur yang kurang nyenyak,
mimpi itu terjadi sering diketahui sendiri bahwa dirinya bermimpi.
Hubungan antara mimpi dan hari depan, dapat ditafsirkan dengan apa
yang dinamakan ramalan yang tidak dapat disadari, artinya, bahwa ada
 2
 Pengaruh pemadatan itu tampak dalam usaha yang tidak disadari dalam kehidupan
sehari-hari, ada orang yang banyak bicara dengan dua dorongan yang berlawanan, Pertama,
dorongan untuk menyatakan diri dan Kedua, pembelaan diri, sehingga pendengar tidak
mengajukan pertanyaan atau membantah
 61
petunjuk-petunjuk yang lewat pada pikiran untuk dipegang terhadap apa yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang (El-Quussy, 1974: 177).
Schepner (1861) mendukung pandangan bahwa mimpi berasal dari
stimuli organik dan memberi sumbangan atas hubungan isi mimpi dengan
kondisi rangsangan organ seksual ternyata sangat kuat (freud, 2002: 92).
Mimpi bukan saja memproduksi stimulus tapi juga memberi tambahan,
memainkan, menyesuaikan dengan konteks lain atau bahkan merubah menjadi
sesuatu yang lain.
Aristoteles (1881) mendefinisikan mimpi merupakan kelanjutan proses
berfikir dalam tidur, lalu ketika saat sadar pikiran kita menampilkan prosesproses
psikis (penilaian, penyimpulan, jawaban atas keberatan, pengharapan,
keinginan dan sebagainya) (Freud, 2001: 515).
Harapan yang direalisasikan dalam mimpi itu berasal dari: 1) Mimpi
dibangkitkan sejak hari sebelumnya, namun karena keadaan-keadaan eksternal
ia belum terpuaskan, sehingga di malam hari pertanyaan dan harapan-harapan
tak terpuaskan itu muncul, 2) Mimpi muncul di hari sebelumnya hanya untuk
kemudian ditolak atau dibuang, sehingga di malam hari akan tersisa harapan
tak terpuaskan dan ditekan, 3) mimpi tidak memiliki hubungan dengan hidup
keseharian, namun mimpi adalah harapan-harapan yang hanya bisa
dibangkitkan di malam hari sebagai materi-materi yang tertekan dalam diri
manusia. Jika kembali pada pola apartus psikis, maka manusia bisa
melokalisir harapan pada urutan pertama dalam system prasadar. Bisa
diasumsikan bahwa harapan pada urutan kedua telah dilempar kembali dari
 62
system prasadar menuju sistem bawah sadar, di mana harapan itu sebenarnya
bisa mempertahankan dirinya sendiri (Freud, 2001: 516).
Dalam pembentukan mimpi, rangsangan harapan yang diabaikan alam
sadar akan dipindahkan ke latar belakang, sehingga mimpi tak memainkan
peran apapun, kecuali peran-peran yang diberikan pada materi-materi sensasi
aktual selama tidur dalam hubungan dengan isi mimpi, sesuai dengan jalur
pikiran.
2. Distorsi dalam Mimpi
Robert (1911) menyatakan bahwa mimpi berfungsi untuk membuang
ingatan-ingatan kita tentang kesan-kesan tidak berguna yang diterima pada
hari itu dan tidak bisa lagi dipertahankan ketika ingatan-ingatan remeh dari
masa kanak-kanak juga muncul dalam mimpi dengan frekuensi tertentu
(Freud, 2004: 328).
Distorsi menyebabkan mimpi tampak aneh dan tidak jelas. Ada
beberapa hal yang ingin diketahui dari distorsi: 1) darimana asalnya, 2)
bagaimana melakukannya. Kita bisa mengatakan bahwa distorsi adalah hasil
kerja mimpi (Freud, 2001: 139).
Mendeskripsikan kerja mimpi menurut Van Hug dan Hellmuth (ahli
psikoanalisa) bahwa mimpi yang dialami oleh seorang wania tua juga
membutuhkan interpretasi karena mimpi yang dialami mempunyai hubungan
dengan lamunan. Mimpi itu hanya mendapat sedikit distorsi. hal yang paling
menarik adalah terjadinya kekosongan, bukan dalam mengingatnya, tapi pada
 63
isinya. Ada tiga tempat yang hilang yaitu saat pembicaraan di sela gumaman,
isi mimpi yang berupa gumaman yang tidak jelas, sesuatu yang hilang atau
ditutup-tutupi. Menyadari bahwa faktor-faktor kejutan juga tidak mendorong
ditutup-tutupi elemen mimpi (Freud, 2001: 142).
3. Psikologis dalam Proses Mimpi
Freud mengambil makna mimpi sebagai obyek studinya. Salah satu
alasan ialah persamaan yang ditemukan antara reaksi-reaksi para pasien dalam
keadaan hipnosa dengan mimpi biasa. Alasan lain ialah bahwa cerita tentang
mimpi menjadi suatu unsur penting dalam pengobatan psikoanalisis sejak ia
pindah ke metode asosiasi bebas dan alasan yang paling menentukan ialah
pengalaman tentang mimpi-mimpinya memungkinkan Freud melakukan
psikoanalisa terhadap dirinya (Bertens, 1991: xxv).
Salah satu aktivitas psikologis yang terjadi disaat tidur adalah mimpi.
Mimpi merupakan keadaan kesadaran yang berubah di mana citra dan fantasi
yang teringat secara sementara dikacaukan oleh realitas eksternal (Mujib dan
Mudzakir, 2001: 304). Freud memandang perilaku manusia banyak
dipengaruhi oleh masa lalu ketidaksadaran, dan dorongan-dorongan biologis
(nafsu-nafsu), yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi
(Baharuddin, 2004: 175).
Kajian komparatif dari seluruh fenomena tentang asumsi-asumsi
psikologis yang didasarkan pada analisis mimpi harus menggabungkan
penelitian-penelitian lain (dari titik pangkal lain) yang juga mencoba masuk ke
 64
dalam permasalahan yang sama, sehingga mimpi dapat mudah diketahui
faktor-faktor psikologisnya (Freud, 2001: 474).
Freud (2004: 475) mengkategorikan faktor-faktor psikologis dalam
proses mimpi meliputi:
a. Pelupaan Mimpi
Hasil yang diingat kembali dari mimpi, dengan apa yang kemudian
dijadikan subjek dari metode tafsir mimpi, pada awalnya dirusak oleh
faktor inkonsistensi ingatan (yang terutama sekali tak mampu untuk
menyimpan mimpi) dan mungkin justru telah mengabaikan bagian-bagian
paling signifikan dari isi mimpi tersebut. Ketika mencoba mengingat
mimpi dengan lebih seksama, acap kali muncul pikiran bahwa telah
memimpikan lebih banyak dari apa yang bisa diingat, bahkan ingatan
tentang satu kepingan mimpi inipun tampak sangat tidak jelas (Freud,
2004: 475).
Fenomena melupakan mimpi juga tetap tak akan bisa dipahami,
hingga dalam menjelaskannya dalam ruang lingkup proses sensor psikis.
Perasaan atau sensasi yang muncul dalam mimpi seseorang secara berkalikali
sepanjang malam dan hanya sebagian kecil saja yang tetap tersimpan,
mungkin masih mempunyai arti lain pada sejumlah persoalan, mungkin
bisa berarti bahwa kerja mimpi berjalan sepanjang malam dalam cara-cara
yang bisa dipahami, tapi kemudian hanya meninggalkan satu mimpi
singkat. Meskipun demikian, tidak terdapat keraguan bahwa mimpi akan
semakin terlupakan setelah terjaga, meskipun upaya-upaya yang kadang
 65
menyakitkan harus dilakukan untuk mengingatnya kembali (Freud, 2004:
481).
Mimpi berbeda dengan kesalahan pengucapan karena terdiri dari
banyak unsur. Mempertimbangkan beberapa tehnik, sebaiknya membagi
mimpi berdasarkan variasi unsur dan mempelajarinya secara terpisah,
kemudian baru membangun kembali analogi dengan keseleo lidah. Orang
yang bermimpi apabila ditanyai salah satu unsur mimpinya akan
menjawab dia tidak mengetahuinya, karena ia tidak ingat akan mimpinya
(Freud, 2001: 103).
Biarpun dalam keadaan tidur respresi pihak ego memang kurang
ketat, namun tidak berarti bahwa represi itu terhapus sama sekali. Juga
waktu tidur keinginan yang direpresi tidak lolos dari sensor. Tetapi
keinginan itu mencari akal untuk menipu sensor, yaitu dengan mengubah
bentuknya atau dengan kata lain dengan menggunakan kedok. Dengan
demikian batasan yang diberikan Freud tentang mimpi adalah cara
berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi yang
berfungsi melindungi tidur. Psikologi menggambarkan kepada kita bahwa
factor utama yang menentukan dalam proses pembentukan mimpi ialah
kondisi pasif jiwa yakni pembentukan mimpi tetap berjalan dengan
mengurangi proses sensor endopsikis (Freud, 2004: 491).
b. Regresi
Dalam penelitian psikologis yang telah lama meringkas hasil-hasil
utama dalam penelitian yang telah dilakukan. Mimpi adalah aktivitas
 66
psikis yang penuh dengan kepentingan, kekuatan motifnya selalu
pemenuhan harapan, dan begitu banyaknya keanehan serta absurditas di
dalamnya adalah pengaruh dari proses sensor psikis yang bekerja selama
pembentukan mimpi (Freud, 2004: 497). Di samping kebutuhan agar
terhindar dari proses sensor, factor-faktor yang berperan dalam
pembentukan mimpi ialah: 1) Proses kondensasi materi-materi psikis, 2)
Berkenaan tentang kelayakan untuk mewakili rangsangan inderawi
(representabilitas), 3) Tidak kontinue faktor eksterior struktur mimpi yang
rasional dan jelas.
Albertus Magnus (1895) mendeskripsikan unsur regresi bermula
dari imajinasi membangun mimpi di luar objek-objek nyata yang
disimpannya. Proses ini berkebalikan dengan yang terjadi pada alam sadar.
Sedangkan Hobbes mengartikan regresi mimpi adalah kebalikan dari
imajinasi kita. Gerakan disaat terjaga dimulai dari satu sisi misalnya,
dalam mimpi akan dimulai dari sisi yang lain (Freud, 2004: 599).
Dalam pendapat lain, Maeder (1950) berusaha mencari fungsi
mimpi yang lain. Ia mulai dari sebuah pengamatan bahwa banyak mimpi
berisi usaha untuk memberikan solusi konflik, yang setelahnya benarbenar
bisa diterapkan. Sehingga mereka bertindak seperti sedang
mengemas persiapan bagi aktivitas sadar. Dia kemudian menarik garis
sejajar antara bermimpi dan peran binatang serta anak-anak, yang
dibayangkan sebagai suatu latihan bagi naluri mereka dan persiapan bagi
kehidupan mereka kelak, sehingga justru menghasilkan fungsi mimpi yang
 67
terkesan menggelikan. Sedangkan Adler (1905) juga menekankan fungsi
berpikir mendahului mimpi. Analisisnya berupa mimpi yang dipahami
sebagai mimpi solusi yang terus menerus muncul beberapa malam, hingga
akhirnya menghilang setelah solusi tersebut benar-benar diterapkan
(Freud, 2004: 601).
c. Pemenuhan Harapan
Mimpi tak lain akan berisi sebuah pemenuhan harapan, jelas akan
tampak aneh bagi kita semua, karena adanya kontradiksi yang diberikan
dalam kegelisahan. Analisis sesungguhnya mampu memberikan
pencerahan dan makna dan nilai psikis tersembunyi di belakang mimpi,
dan tanpa terduga sama sekali ternyata determinasi makna tersebut adalah
satu kesatuan (Freud, 2004: 515).
Menurut Aristoteles (1881) mimpi merupakan kelanjutan proses
berpikir dalam tidur. Lalu ketika (pada saat sadar) pikiran kita
menampilkan proses-proses psikis (penilaian, penyimpulan, jawaban atas
keberatan, pengharapan, keinginan), yang di sisi lain mimpi menampilkan
aktivitas psikis yang berlainan (misalnya rasa cemas).
Dalam pembentukan mimpi, rangsangan harapan yang diabaikan
alam sadar akan dipindahkan ke latar belakang, masalah-masalah yang
belum terpecahkan, perhatian yang mengusik, kesan-kesan yang
berlimpah, terus bekerja dalam pikiran kita selama tidur. Mempertahankan
proses psikis dalam system yang kita sebut prasadar. Pikiran yang
dilanjutkan dalam tidur dapat diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok
 68
berikut 1) Rangsangan yang belum diselesaikan di siang hari, karena satu
dan lain hal 2) Rangsangan yang dibiarkan tidak selesai, karena kekuatan
mental kita gagal menyelesaikannya, 3) Rangsangan yang diabaikan dan
ditekan, 4) Rangsangan yang dibangkitkan di bawah sadar oleh kerja
sistem prosedur (di siang harinya), 5) Kesan-kesan biasa di siang hari yang
kemudian dibiarkan tanpa kapasitas akan maknanya (Freud, 2004: 520).
Agar tidak terjadi mimpi jasmaiah yang menakutkan oleh Khalil A.
Khavari memberikan pandangannya, Tips for Going to Sleep is:
1. Find out about your circadian rhythm
2. Arranges your work rest schedule
3. Establish a routire (Khavari, 1999: 258).
Sedangkan waktu mimpi ada yang cepat dan ada yang lambat
sebagaimana Josie Hadley and Carol Staudacher mengatakan bahwa the
voice for the basic induction of dream is usually one of two types:
monoton or rhythmic (Hadley and Staudacher, 1989: 29).
Mimpi waktu tidur adalah sama dengan mimpi waktu bangun,
yaitu pikiran-pikiran dan khayalan di mana seseorang menerawang, ketika
ia menyatakan sedang ngelamun. Dalam mimpi sedang bangun itu, banyak
keinginan-keinginan yang tercapai, seperti ingin terlepas dari bapak, dari
ibu, sekolah, keadaan membujang, memikul tanggung jawab, mencapai
kekayaan, kepuasan, perkawinan, syahwat, atau lain-lainnya, yang
diinginkan oleh jiwa, yang kadang-kadang tidak mudah mencapai dalam
kenyataan (El-Quussy, 1974: 175).
 69
Antara mimpi dan hari depan, dapat ditafsirkan dengan apa yang
dinamakan ramalan yang tidak disadari, artinya bahwa ada petunjukpetunjuk
yang lewat pada pikiran untuk dipegang terhadap apa yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang (El-Quussy, 1974: 177).


Label :

Mimpi, Makna Mimpi, Tafsir Mimpi, Verri JP MA, thera afiat, artikel, Kelapa Gading, Ibn Sirin, Sigmund Freud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar