Oleh : Ferry Djajaprana
Ada persamaan antara bulan Jawa dan bulan Hijriah yaitu keduanya berlandaskan pada peredaran bulan terhadap bumi. Karena persamaan inilah maka keduanya disamakan perhitungannya hanya saja dibedakan pada penamaannya. Kalau kalender Jawa menyebut awal bulan dengan Sura (baca: Suro) sementara di Hijriah disebut Muharam.
Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa. Di samping itu bagi masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan yang sama. Alam gaib yang dimaksudkan adalah; jagad makhluk halus, jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman, benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya. Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njampangi (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.
Di suku Jawa bulan Sura identik dengan bebersih diri, bersih fisik maupun rohani, bahkan sampai pembersihan aji-aji, pusaka, ataupun keris tak luput dibersihkan juga. Mereka menyebutnya dengan istilah diruwat.
Menurut R. Eddy Supriyatna, Koordinator Pelaksana Ruwatan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dilaksanakan besok, Sabtu 10 Des. 2011, maksud ritual ruwat sukerto adalah prosesi ritual ruwat sengkala – bersih diri anak manusia yang kotor karena kesalahan dan dosa. Pelaksanaannya di bulan Suro pelaksanaannya dengan uborampe sesaji, gending, mantra, kidung serta samadhi untuk meneb bersama, yang dipandu oleh spiritualis kejawen sejati, yang sejak kecil hidup dalam jiwa pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga sang pemandu memiliki daya luwih, dalam bersama-sama mencari dan memohon untuk mendapatkan energi suci nan agung, guna membersihkan kotoran jiwa dan energi negatif, dosa dan karma buruk yang membelenggu kehidupannya selama ini, sehingga dapat terhindar dari malapetaka dan dapat hidup selamat sejahtera.
Ruwat artinya lepas dari kotoran jiwa, dan karma buruk yang ada dalam diri anak manusia, yang diperoleh dari perbuatan masa lalu, sebelum maupun sesudah lahir di planet Bumi ini sehingga dia disebut manusia sukerto, yaitu manusia yang penuh dengan energi negatif, dan harus dibersihkan. Pembersihannya energi negatif banyak ragamnya, salah satu di antaranya adalah dengan cara melalui Ritual Ruwat Sengkala secara khusus. Caranya para sukerto melakukan tirakat atau puasa khusus selama tiga hari, sebelum ritual ruwatan berlangsung yang dipandu oleh juru ruwat dalam memohon ampun kepada orang tuanya serta kepada Tuhan Yang Maha Agung atas segala kesalahan dan dosanya, sehingga dirinya dapat bersih dari segala kotoran budi maupun dosa agar kehidupannya memperoleh selamat dan sejahtera.
Dengan mantra dan kidung suci yang dikemas dalam budaya Jawa, sang juru ruwat akan mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, termasuk memberi bekal serta pemahaman kepada para sukerto tentang hakikat ruwat sukerto, yang selanjutnya memandu meditasi, samadhi dan dua tafaqur bersama bersimpuh mohon ampun serta mohon bersih segala energi buruk yang ada di dalam diri para sukerto bahkan mungkin para penonton yang hadir saat prosesi ritual ruwat sengkala berlangsung.
-o0o-
Di atas adalah acara ruwatan dalam tradisi kejawen, penulis mencoba menghubungkan beberapa aktifitas Assyura yang biasa dilakukan oleh umat Islam di antaranya adalah :
Dari Abu Musa ra, ketika nabi Saw memasuki kota Madinah, ada orang-orang Yahudi yang sedang mengagungkan hari Asyura dengan berpuasa di hari itu. Lalu Nabi Saw bersabda, ”Kami lebih berhak untuk berpuasa di hari itu”, maka beliaupun memerintahkan untuk berpuasa (sunah) di hari itu (Bukhari 63:3942)
Dari Ibn Abbas r.a. ia berkata, ketika nabi saw memasuki kota Madinah terlihat orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa dihari ’asyura, lalu ditanyakan pada mereka, mereka menjawab bahwa hari tersebut adalah hari di mana Allah memperlihatkan mukjizat Nabi Musa A.S atas Firaun, dan kami berpuasa untuk mengagungkan kejadian itu. Maka nabi saw bersabda, ”Kami lebih pantas memuliakan nabi Musa as daripada kalian.” Kemudian beliaupun memerintahkan puasa (sunah) pada hari tersebut. (Bukhari. 63:3943)
Kesamaan pada acara ritual tersebut adalah pelaksanaan puasa yang ditujukan kepada Yang Maha Esa yang dimulai sebelum fajar dan diakhiri setelah matahari terbenam. Perbedaannya adalah pada acara ritualnya di mana pada adat Jawa banyak tambahan diantaranya adalah Bedah Tumpeng dan Sesaji Ruwatan.
Sementara ini dulu yang bisa di share..
Salam,
Ferry Djajaprana